Kamis, 05 Januari 2012

Sutradaranya Bodoh atau Penontonnya yg Tolol?

Ada dua nama sutradara yang sampai saat ini masih eksis menelurkan film-film lokal tjap sampah dengan gaya serta cerita yang tidak pernah berbeda, sebut saja mereka KKD dan Koya (di tanah sunda artinya comberan). Saya tidak membenci mereka tetapi saya tidak menyukai mereka dengan alasan, mereka tidak layak disebut dengan sineas atau orang seni, mereka layaknya mendapatkan julukan si pembuat film. Mungkin kita tidak asing dengan judul-judul film lokal bertema Horno (Horor Porno) semacam hantu datang bulan, pocong gesot, Suster Keramas the series, Pocong Mupeng atau Hantu Perawan. Kesemua film tersebut hanyalah sebuah film yang jika kita tonton tidak mendapatkan apa-apa selain bingung dan terhibur (terpaksa).

Membuat film itu sebenarnya tidak murah dan juga tidak gampang namun pemikiran briliant kedua sutradara bertaraf international (satu india dan satunya lagi lokal tapi pernah belajar film di luar negeri) membuat sebuah film menjadi hal yang mudah, apapun ceritanya bisa jadi film, yang penting jadi dan lucu. Kalau kita bertanya kepada sutradara Seni Film semacam Riri Reza, Garin Nugroho, Mira Lesmana dan lainnya, maka mereka sepakat kalau bikin film itu sulit, penuh imajinasi dan memiliki arti tujuan yang kuat agar para penonton mendapatkan sesuatu yg positif. Makanya sutradara semacam mereka rata-rata membuat film hanya setahun sekali, itu pun sukses besar dengan beberapa penghargaan.

Saya sendiri penasaran dengan 2 sutradara briliant itu, berapa keuntungan yang mereka peroleh sehingga bisa terus memproduksi film paling sedikit 3 judul film dalam setahun. Pasti film-film mereka mengeluarkan budget tinggi sekali karena tak jarang menampilkan artis luar yang memang film mereka terkenal (terkenal dikalangan bokepers sejati), entah kenapa artis bokep international yang mereka undang, sepertinya para sutradara ini melakukan audisi dengan menonton film-film mereka lewat media JAV atau Vivid. Mungkin pikir mereka, jika mendatangkan artis-artis papan ‘ranjang’ bergoyang tersebut, dapat nominasi penghargaan dari ajang perfilm-an international semacam cannes atau MTV Movie Awards.


ijin masukin komik anak bangsa

artis-artis lokal yang memerankan peran di film lokal sampah sepertinya sudah dikontrak sampai kening mereka keriput sehingga mereka selalu saja nongol, dia lagi dia lagi, kalau gak dia ya dia, kalau dia ada pasti dia juga ada, begitulah kata hati kecil saya berkata ketika melihat poster cumming soon film sampah. Saya tidak mau menyalahkan artisnya, mereka hanya mencari uang dan tidak berpikir jika film laya lebar adalah seni, mereka hanya tahu jika main film bioskop itu eksklusif dan bayarannya mahal tidak peduli cerita tolol apa yang mereka perankan. Artis-artis muda yang masih lugu pun menjadi target empuk buat di hasut untuk berperan dalam film mereka, akting mereka pun sama dengan akting film hollywood semacam american pie, disaster movie dan film-film mockbuster barat lainnya.

entah sampai baginda KKD memproduksi film-film sampai berbau horno (horor porno), entah sampai kapan pula artis-artis tersebut sadar kalau tubuh mereka Cuma buat bahan imajinasi para remaja ketika butuh bahan colian. Namun jangan lupa atas jasa mereka karena berkat mereka lah hantu-hantu di Indonesia tidak lagi terlihat seram dan menakutkan, bahkan tidak ada harganya (memang sejak kapan hantu ada bandrolnya). Anak-anak kecil yang menonton film mereka pun bahwasanya bisa mengerti kalau setan itu tidak menakutkan, justru bisa ditindas dengan cara di lempari sendal, disembur kopi dan di injak-injak sampai di bully. Para remaja juga bisa menonton film mesum bergenre horor dan orang tua mereka tidak curiga, “hai toni kamu mau kemana?”, “aku mau nonton Hantu goyang pinggul bu….”, “ya sudah hati-hati, jangan nonton film porno ya”. kira-kira seperti itulah percakapan seorang remaja yang sedang mengalami gejolak kawula muda dengan seorang ibu yang sebenarnya sudah dibohongi oleh anaknya.

Jaman orang tua kita muda dulu, film horor ya horor, walaupun ada adegan mesumnya tidak sampai mendominan film horor tersebut. kalau sekarang film horornya lebih dominan ke porno, cerita horornya hanya pembiasan judul biar tidak diketahui kalau film tersebut ada adegan mesumnya padahal trailernya saja sudah buka-buka beha atau goyang-goyang erotis. Dari segi posternya saja sudah ketebak jalan ceritanya, antara dada dan pantat bukan lagi cerita horor yang menampilkan perilaku setan menakut-nakuti manusia melainkan perilaku manusia yang menakuti dan membully setan.

Penontonnya pun bisa dikatakan tolol (agak kasar kalimatnya ya) penontonnya kebanyakan tidak mengerti film, apa yang didapatkan dari penonton film tersebut setelah film habis?, rasa heroik kah?, patriotisme kah?, hiburan kah?, atau selangkangan basah akibat menahan ereksi. Saya sendiri lebih menonton film holiwut kelas C, walaupun ceritanya jelek tapi saat saya selesai menonton film, saya bisa mendapatkan tambahan kamus bahasa inggris. Saya pernah kok menonton film sampah tersebut, setelah menonton malah jadi bingung, dibilang lucu ya gak lucu, dibilang serem ya bingung dimana seremnya, malah soundnya yang ngagetin bin ngeselin.

Biasanya yang menonton film sampah seperti ini adalah orang-orang yang baru mengenal film bioskop, tidak peduli cerita yang penting asik (asik bagi kalangan yg hobi liat area intim) atau sekedar datang ke bioskop bersama pasangan untuk melakukan adegan flirting atau french kiss sambil grepe sana grepe sini, soalnya kalau filmnya bagus dan seru mana mungkin sempat melakukan hal itu. sebenarnya saya kasihan melihat penonton masuk kedalam theater yg memutar film sampah, seakan mereka terhipnotis oleh poster dan trailernya, setelah keluar dari theater tak sedikitpun menggerutu tentang film yg gak jelas itu, namun besoknya nonton lagi film dengan sutradara yg sama.

Dengan adanya penonton di film-film tersebut, maka para sutradara mesum dari india dan lokal rasa interlokal akan dengan setia membuat film-film briliant untuk mengetes rangsangan organ vital anda. Kembali ke hak masing-masing, mau nonton film apapun selama membayar tiket ya itu hak masing-masing namun kita sebagai bangsa yg berpendidikan mestinya mendukung kualitas film demi mengangkat derajat perfilman Indonesia dimata dunia, minimal dimata anak-anak kita nantinya. Selama tidak ada yg peduli tentang perfilman nasional, selama itu pula film lokal hanya dapat cap sampah dan tidak bermutu walaupun satu atau dua film lokal sangat layak ditonton tetapi sampah-sampah film tersebut mengubur keindahan film yang digarap dengan serius dan bercita rasa seni yg tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk mengirim pesan dan kritik, silakan komentarnya di bawah.